Senin, 17 Desember 2012

METODOLOGI AL-QUR’AN DALAM PERSPEKTIF PEREMPUAN

BAB I
PENDAHULUAN

            Al-qur’an Al-karim sudah mengetengahkan pembicaraan yang terperinci mengenai segi persoalan-persoalan wanita semuanya; dan dalam setiap persoalan itu, Qur’an sudah mengutarakan pembahasan yang meyakinkan, yang tidak memerlukan penelitian kembali, kecuali untuk menjelaskan saja, dan mengemukakan bukti-bukti terhadap kebenarannya dengan mengetengahkan realita-relita, yang berulangkali terjadi setiap masa, menurut keadaan masyarakat dan taraf  kecerdasan manusia, masa demi masa.
            Hak-hak dan tugas-tugas, yang ditetapkan dalam Qur’an untuk kaum wanita ternyata sudah memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu, pada tiap-tiap bangsa yang telah memiliki kebudayaan yang tinggi pada masa sebelum Islam.
            Pada pembahasan ini akan membahas yang diantaranya mengenai kedudukan wanita dan hak-hak wanita  dalam Qur’an.




                                                                                             

                                                                                                 Yogyakarta, 14 Desember  2012

         



                                                                BAB II
                                                         PEMBAHASAN

A.    KODRAT WANITA

            Wanita, secara harfiah  disebut kaum perempuan. Kaum yang sangat dihormati dalam konsepsi islam. Sebab, pada telapak kaki wanita (ibu) terletak surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Nama ini terambil dari nama ibunda manusia (Siti Hawa-istri nabi adam as). Secara pisik (kodrati), wanita lebih lemah dari pria. Mereka memiliki perasaan yang lebih lembut dan halus.Pada jaman jahiliyah, posisi dan peran wanita sangat direndahkan. Bila seorang wanita melahirkan anak perempuan, di zaman itu, mmerupakan aib besar bagi kedua orang tuanya. Di zaman Yunani kuno, wanita juga dilarang membelanjakan hartanya sendiri.
             Islam melalui utusan-Nya, Nabi Muhammad saw, datang membawa ajaran yang menempatkan wanita pada tempat terhormat, setara dengan laki-laki. Mnghormati dan memuliakan wanita. Mengangkat harkat dan martabat wanita. Malahan, dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Anas ra, Nabi Muhammad saw bersabda,”al-jannatu tahta aqdamil ummahati-surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
           Hahits ini menggambarkan betapa mulianya tugas dan fungsi seorang ibu sebagai pimpinan rumah tangga. Karena dialah yang bertanggung jawab dalam menentukan tinggi rendahnya martabat anggota keluarganya.
           Banyak ayat-ayat al-Qur’an ang menempatkan wanita sejajar dengan laki-laki, seperti dijelaskan dalam firman Allah;
من عمل صلحا من ذكراو انثى وهو مؤمن فلنحيينه,حيوة طيبة ولنجزينهم اجرهم باحسن ما كانوا يعملون                 
Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik, laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan kami berikan mereka kehidupan yang baik dan akan kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan” (QS. Al-Nahl : 97).
Dalam ayat lain dijelaskan;
فاستجاب لهم ربهم انى لا اضيع عمل عامل منكم من ذكر او انثى                                                                         “Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal yang dilakukan oleh kamu sekalian., kaum laki-laki dan perempuan” (QS.Al-Imran :195).[1]
             Demikian pula ayat yang menjelaskan tentang asal-usul wanita yang digambarkan Allah secara umum;
ويعبدون من دون الله ما لا يملك لهم رزقا من السموات والارض شيئا ولا يستطيعون
“ Dan Allah telah menjadikan bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan dari istri-istri kalian anak (laki-laki dan perempuan)”(QS.an-Nahl : 72)
              Ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara lelaki dan wanita dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Pada dasarnya, ajaran islam sangat mendorong kepada kaum wanita untuk berkarya secara maksimal sesuai dengan kemampuan dan kodratnya. Karena itulah, wanita memiliki kedudukan yang sama dengan pria dalam pandangan islam, antara lain pria dan wanita mempunyai persamaan hak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Wanita juga mempunyai hak yang sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada yang ikut berperang, mendukung tugas pria.
           Posisi wanita dalam Islam, pada dasarnya sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai dengan kodrat masing-masing. Tugas dan tanggung jawab kaum wanita dalam urusan rumah tangga, misalnya, terutama peran seorang istri, ikut mendukung keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.
           Wanita memiliki kesamaan dalam berbagai hak dengan pria, namun sebgai wanita ia memiliki kodrat dan berbagai keterbatasan dibanding laki-laki. Menurut Yusuf Qardhawy,wanita telah disiapkan Allah memliki perasaan yang sensitif untuk mendukung tugas-tugas keibuannya. Secara teologis, Allah menciptakan wanita dari unsur  pria (wa khalaqo minha zaujaha). Bahkan, kitab Injil menegaskan  bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi Adam. Kerana itulah pria pada dasarnya memiliki berbagai kelebihan tertentu dari wanita. Kelebihan itulah dimaksudkan agar pria membela  dan melindungi kaum wanita, seperti ditegaskan Allah dalam firman-Nya;
الرجال قو مون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض
“Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)” (QS. An-Nisa’ : 34).
         Namun, kekurangan  yang ada pada diri wanita tidak akan mengurangi derajatnya untuk meraih posisi dan jabatan penting seperti kaum pria. Sesuai dengan penjelasan ayat di atas wanta secara kodrati memiliki kelemahan-kelemahan tertentu sehingga ia harus rela dipimpin oleh kaum pria, terutama dalam konteks hubungan rumah tangga. [2] Adapun fungsi dan tugas wanita sesuai degan kodrati kewanitaannya antara lain:
a.       Sebagai Kepala Rumah Tangga
          Wanita (istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga, sedangkan suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga, hal ini sesuai dengan hadits Rosulullah;
“Setiap manusia keturunan adam adalah kepala, maka seorang pria adalah kepala keluarga, sedangkan wanita adalah kepala rumah tangga”(HR Abu Hurairah).
               Dalam prakteknya, kepemimpinan dan tugas-tugas keluarga itu lebih banyakdilakukan oleh pihak wanita. Dengan kelemah lembutannya, seorang wanita sebagai ibu rumah tangga dapat berperan sebagai faktor penyeimbangkaum pria dalam kehidupan keluarga . Fungsi dan tugas dalam urusan rumah tanggaini bisa saja dideligasikan kepada orang lain (pembantu), namun tetap berada dalam koordinasi dari sang istri.
b.      Sebagai Ibu dari Anak-Anaknya
            Sebagai seorang wanita, belum sempurna statusnya sebagai seorang istri, bila belum memiliki anak. Hamil dan melahirkan anak-anak adalah anjuran agama. Sebagaimana ditegaskan bahwa hamil dan melahirkan adalah kodrat wanita yang sangat mulia. Tanggung jawab seorang ibu dan ayah tidak hanya memiliki anak, namun mendidiknya menjadi anak yang sehat, cerdas, beakhlak, dan taat dalam menjalankan ajaran agamanya. Maka, perlu ada keseimbangan antara kuantitas anak sebagaimana anjuran Rasullullah dalam sebuah keluarga dengan kualitas anak atau kemampuan para orang tua untuk menyiapkan pendidikan dan pembinaanya di kemudia hari. Hal itu sesuai pula dengan peringatan Allah alam salah satu firman-Nya:
واليخش الذين لو تركوا من خلفهم ذ رية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا                          
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS.An-Nisa’ :9).
             Dengan demikian, sesuai kodratnya, wanita tidak cukup hamil dan melahirkan. Wanita juga ikut bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya dengan baik, agar ia cerdas dan berakhlak baik, sehingga menjadi manusia yang berkualitas.[3]
B.     Hak Politik Wanita
              Islam tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.
            Masalah perempuan tampaknya akan menjadi persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya pencarian solusi bagi keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah keberadaan perempuan, melainkan membangun kembali, khususnya berkenaan dengan isu kodrati yang mengakibatkan perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang memprihatinkan. Demikian pula, wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisiditemukan penafsiran ayat dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin, meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin
             Mengenai perempuan berpolitik terdapat dua pendapat ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
      a. Perempuan berpolitik dilarang.
           Pendapat yang melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut:
 1.Pernyataan al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena  Allah telah melebihkan sebagian laki-laki atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
       3. Sebagian kitab tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan,   dialah pemimpinnya, pembesarnya, hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr 1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah (asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal) laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql), kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah), persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki  (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan kepala negara.[4]
    b. Bolehnya Perempuan berpolitik
            Sedangkan pendapat yang membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya sebagai berikut :
   1. Pernyataan al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71). Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an surat al-Naml/27:23), seorang perempuan adalah Ratu Bilqis yang memerintah di negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan” perlu diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk hadis ahad. Kalaupun dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada konteks pengucapan Nabi yang berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.                                                              
    Tafsiran tentang surah An-Nisa’
   tentang  surah al-Nisa’ ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما أنفقوا من أموالهم… 
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan dari sebagian harta mereka…”
             Kata الرجال itu umum, النساء juga kalimat umum, sesuatu yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka.Keutamaan atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî, 4: 2202). Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai  penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir  dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum perempuan.
          Berbeda dengan mufassir terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
Ø  Menurut Fazlur Rahman, laki-laki adalah  bertanggung jawab atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan  bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin: 72)
Ø  Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi secara fungsional yaitu1 selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran and Woman: 73).[5]
           Kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat tersebut diturunkan.
             Keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam masyarakat. Namun sangat disayangkan asumsi memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut kodratnya sangat intens dengan    perasaan.  Hal    ini    bukan    merupakan   kekurangan,   namun  sebaliknya menjadi pembeda dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang lebih sedikit.
Kendati demikian, perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah  perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi  atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat itu menunaikan ihram dan berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam, orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
      Adapun perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam   perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf. Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
                Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan kemarahan memuncak.  
 Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah, mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah, kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi. (Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.

                Keputusan yang diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh kedua pihak dalam tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada ibunya, dapat dipastikan  ibu mencari pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering menggunakan perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.[6]       
              Perempuan berhak menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syariat Islam, karena tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan  ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ  الصَّلاةَ  وَيُؤْتُونَ  الزَّكَاةَ          وَيُطِيعُونَ  اللَّهَ  وَرَسُولَهُ  أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ  اللَّهُ إِنَّ  اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.       
            Sedangkan "Menyuruh mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya, Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya sesama mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.[7]
               Dalam tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam  masyarakat mukmin harus saling tolong menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
            Demikian juga pendapat Sayid Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar makruf  dan nahi munkar artinya “Menciptakan kebaikan dan menolak kejelekan diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan dengan tolong menolong, hal ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
               Hak perempuan di bidang politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu, tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen, terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam  konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas pada pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30”.[8]
               Sementara di sisi lain ada hadis yang dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang jabatan adalah:
عن ابى بكرة  قال لقد نفعني الله  بكلمة سمعتها من رسول الله  صلى الله عليه وسلم آيام الجمل  بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم قال لما بلغ رسول الله   صلى الله عليه وسلم  ثم آن  اهل فارس قد ملكوا  عليهم بنت كسرى  قال  لن يفلح  قوم  ولو امرهم  امرأة رواه البخارى         
“Dari Abî Bakrah berkata: “Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata: “Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW  berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)

          Bukti bahwa perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar adalah terdapat dalam al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu Nabi Musa AS., dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut menunjukkan bahwa perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang luas, seperti persoalan dalam suatu negara.[9]
                      
PENUTUP

       Di luar bentuk fisik dan biologis antara perempuan dan pria memang tidak berbeda banyak. Dalam kecendikiawan banyak juga perempuan yang berprestasi tidak kalah dengan laki-laki. Di Indonesia ada kartini-yang pikiran-pikirannyaprogresif, di samping itu Siti Rihanah Kudus di Minangkabau, dan Dewi Sartika di Bandung.






















DAFTAR PUSTAKA

·         Istibsyasaroh, 2004, Hak-Hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta: Teraju).
·         Ilyas,Yunahar,1997, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).
·         Al-‘Akad, Abbas Mahmoud,1984, Wanita dalam Al-Qur’an (Jakarta: P.T. Bulan Bintang).
·         Indra, Hasbi,2004, Potret Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani).
·         Al-Khalidy, Shalah A. Fattah, 1999, Kisah-Kisah Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press).


[1] Hasbi Indra dkk, Potret Wanita Shalehah (Jakarta,Penamadani: 2004),hlm.1-3.
   Abbas Mahmoud Al-‘Akad, Wanita dalam Al-Qur’an (Jakarta, P.T. Bulan Bintang: 1984), hlm.10-11.
[2] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 1997), hlm.123-125.
[3] Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah (Jakarta, Penamadani: 2004), hlm.5-9.
[4] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004), hlm.177-179
[5] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004), hlm.207-209
 
[6] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 1997), hlm.132.

[7] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004), hlm.182-184.
[8] Lihat, penjelasan  pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu.
[9] Shalah A. Fattah Al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an (Jakarta, Gema Insani Press), hlm.71-74.