BAB I
PENDAHULUAN
Al-qur’an Al-karim sudah
mengetengahkan pembicaraan yang terperinci mengenai segi persoalan-persoalan
wanita semuanya; dan dalam setiap persoalan itu, Qur’an sudah mengutarakan
pembahasan yang meyakinkan, yang tidak memerlukan penelitian kembali, kecuali
untuk menjelaskan saja, dan mengemukakan bukti-bukti terhadap kebenarannya
dengan mengetengahkan realita-relita, yang berulangkali terjadi setiap masa,
menurut keadaan masyarakat dan taraf
kecerdasan manusia, masa demi masa.
Hak-hak dan tugas-tugas, yang
ditetapkan dalam Qur’an untuk kaum wanita ternyata sudah memperbaiki
kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lalu, pada tiap-tiap bangsa yang
telah memiliki kebudayaan yang tinggi pada masa sebelum Islam.
Pada pembahasan ini akan membahas
yang diantaranya mengenai kedudukan wanita dan hak-hak wanita dalam Qur’an.
Yogyakarta,
14 Desember 2012
BAB II
PEMBAHASAN
A.
KODRAT WANITA
Wanita,
secara harfiah disebut kaum perempuan.
Kaum yang sangat dihormati dalam konsepsi islam. Sebab, pada telapak kaki
wanita (ibu) terletak surga. Kaum wanita disebut pula dengan kaum hawa. Nama ini
terambil dari nama ibunda manusia (Siti Hawa-istri nabi adam as). Secara pisik
(kodrati), wanita lebih lemah dari pria. Mereka memiliki perasaan yang lebih
lembut dan halus.Pada jaman jahiliyah, posisi dan peran wanita sangat
direndahkan. Bila seorang wanita melahirkan anak perempuan, di zaman itu,
mmerupakan aib besar bagi kedua orang tuanya. Di zaman Yunani kuno,
wanita juga dilarang membelanjakan hartanya sendiri.
Islam melalui utusan-Nya, Nabi
Muhammad saw, datang membawa ajaran yang menempatkan wanita pada tempat
terhormat, setara dengan laki-laki. Mnghormati dan memuliakan wanita.
Mengangkat harkat dan martabat wanita. Malahan, dalam suatu hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Anas ra, Nabi Muhammad saw bersabda,”al-jannatu
tahta aqdamil ummahati-surga itu di bawah telapak kaki ibu.”
Hahits ini menggambarkan betapa mulianya
tugas dan fungsi seorang ibu sebagai pimpinan rumah tangga. Karena dialah yang
bertanggung jawab dalam menentukan tinggi rendahnya martabat anggota
keluarganya.
Banyak ayat-ayat al-Qur’an ang
menempatkan wanita sejajar dengan laki-laki, seperti dijelaskan dalam firman
Allah;
من عمل صلحا من ذكراو
انثى وهو مؤمن فلنحيينه,حيوة طيبة ولنجزينهم اجرهم باحسن ما كانوا يعملون
“Barang siapa yang mengerjakan amal
sholeh, baik, laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka akan kami
berikan mereka kehidupan yang baik dan akan kami berikan balasan kepada mereka
dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan” (QS. Al-Nahl
: 97).
Dalam ayat lain dijelaskan;
فاستجاب لهم ربهم انى لا اضيع عمل عامل منكم من
ذكر او انثى “Sesungguhnya
aku tidak menyia-nyiakan amal yang dilakukan oleh kamu sekalian., kaum laki-laki
dan perempuan” (QS.Al-Imran :195).[1]
Demikian pula ayat yang menjelaskan tentang asal-usul wanita yang
digambarkan Allah secara umum;
ويعبدون من دون الله ما لا يملك لهم رزقا من
السموات والارض شيئا ولا يستطيعون
“ Dan Allah telah menjadikan
bagi kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri dan menjadikan dari
istri-istri kalian anak (laki-laki dan perempuan)”(QS.an-Nahl : 72)
Ayat di atas secara tegas menempatkan kesejajaran antara lelaki dan
wanita dalam bekerja dan mendapatkan hak-haknya. Pada dasarnya, ajaran islam
sangat mendorong kepada kaum wanita untuk berkarya secara maksimal sesuai
dengan kemampuan dan kodratnya. Karena itulah, wanita memiliki kedudukan yang
sama dengan pria dalam pandangan islam, antara lain pria dan wanita mempunyai
persamaan hak dalam pendidikan dan ilmu pengetahuan. Wanita juga mempunyai hak
yang sama untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya. Bahkan sebagian mereka ada
yang ikut berperang, mendukung tugas pria.
Posisi wanita dalam Islam, pada
dasarnya sejajar dengan kaum laki-laki dalam berbagai masalah kehidupan, sesuai
dengan kodrat masing-masing. Tugas dan tanggung jawab kaum wanita dalam urusan
rumah tangga, misalnya, terutama peran seorang istri, ikut mendukung
keberhasilan tugas-tugas suami sebagai pemimpin keluarga.
Wanita memiliki kesamaan dalam berbagai hak dengan pria, namun sebgai
wanita ia memiliki kodrat dan berbagai keterbatasan dibanding laki-laki.
Menurut Yusuf Qardhawy,wanita telah disiapkan Allah memliki perasaan
yang sensitif untuk mendukung tugas-tugas keibuannya. Secara teologis, Allah
menciptakan wanita dari unsur pria (wa
khalaqo minha zaujaha). Bahkan, kitab Injil menegaskan bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk Nabi
Adam. Kerana itulah pria pada dasarnya memiliki berbagai kelebihan tertentu
dari wanita. Kelebihan itulah dimaksudkan agar pria membela dan melindungi kaum wanita, seperti
ditegaskan Allah dalam firman-Nya;
الرجال قو مون على النساء بما فضل الله بعضهم
على بعض
“Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian
mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita)” (QS. An-Nisa’ : 34).
Namun, kekurangan yang ada pada diri wanita tidak akan
mengurangi derajatnya untuk meraih posisi dan jabatan penting seperti kaum
pria. Sesuai dengan penjelasan ayat di atas wanta secara kodrati memiliki
kelemahan-kelemahan tertentu sehingga ia harus rela dipimpin oleh kaum pria,
terutama dalam konteks hubungan rumah tangga. [2] Adapun fungsi dan tugas wanita sesuai degan
kodrati kewanitaannya antara lain:
a. Sebagai Kepala Rumah Tangga
Wanita (istri) adalah pemimpin dalam urusan rumah tangga, sedangkan
suami adalah pemimpin dalam urusan keluarga, hal ini sesuai dengan hadits
Rosulullah;
“Setiap manusia keturunan adam adalah kepala,
maka seorang pria adalah kepala keluarga, sedangkan wanita adalah kepala rumah
tangga”(HR Abu Hurairah).
Dalam prakteknya, kepemimpinan
dan tugas-tugas keluarga itu lebih banyakdilakukan oleh pihak wanita. Dengan
kelemah lembutannya, seorang wanita sebagai ibu rumah tangga dapat berperan
sebagai faktor penyeimbangkaum pria dalam kehidupan keluarga . Fungsi dan tugas
dalam urusan rumah tanggaini bisa saja dideligasikan kepada orang lain
(pembantu), namun tetap berada dalam koordinasi dari sang istri.
b. Sebagai Ibu dari Anak-Anaknya
Sebagai seorang wanita, belum sempurna statusnya sebagai seorang istri,
bila belum memiliki anak. Hamil dan melahirkan anak-anak adalah anjuran agama.
Sebagaimana ditegaskan bahwa hamil dan melahirkan adalah kodrat wanita yang
sangat mulia. Tanggung jawab seorang ibu dan ayah tidak hanya memiliki anak,
namun mendidiknya menjadi anak yang sehat, cerdas, beakhlak, dan taat dalam menjalankan
ajaran agamanya. Maka, perlu ada keseimbangan antara kuantitas anak sebagaimana
anjuran Rasullullah dalam sebuah keluarga dengan kualitas anak atau kemampuan
para orang tua untuk menyiapkan pendidikan dan pembinaanya di kemudia hari. Hal
itu sesuai pula dengan peringatan Allah alam salah satu firman-Nya:
واليخش الذين لو تركوا من
خلفهم ذ رية ضعفا خافوا عليهم فليتقوا الله وليقولوا قولا سديدا
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan
dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka. Oleh karena itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah
dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS.An-Nisa’ :9).
Dengan demikian, sesuai kodratnya, wanita tidak cukup hamil dan
melahirkan. Wanita juga ikut bertanggung jawab untuk mendidik anak-anaknya
dengan baik, agar ia cerdas dan berakhlak baik, sehingga menjadi manusia yang
berkualitas.[3]
B.
Hak Politik Wanita
Islam tidak membedakan
laki-laki dan perempuan dalam hak-hak individu dan hak-hak kemasyarakatan
utamanya hak politik. Namun demikian, yang perlu dicatat adalah bahwa semua hak
tersebut harus diletakkan dalam batas-batas kodrati sebagai perempuan.
Masalah perempuan tampaknya akan menjadi
persoalan yang memerlukan penanganan dalam upaya pencarian solusi bagi
keberadaannya. Dalam arti bukan hendak mengubah keberadaan perempuan, melainkan
membangun kembali, khususnya berkenaan dengan isu kodrati yang mengakibatkan
perempuan semakin terpuruk pada kondisi yang memprihatinkan. Demikian
pula, wacana pemimpin perempuan telah memancing polemik dan debat antara pro
maupun yang kontra. Hal ini terjadi karena satu sisiditemukan penafsiran ayat
dan hadis yang secara tekstual mengutamakan laki-laki untuk menjadi pemimpin,
meskipun sebagian ada yang membolehkannya, di sisi lain ada kenyataan obyektif
adanya sejumlah perempuan yang memiliki pengaruh kuat di masyarakat dan
mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin
Mengenai perempuan
berpolitik terdapat dua pendapat ada yang melarang dan ada yang membolehkan.
a. Perempuan berpolitik dilarang.
Pendapat yang
melarang perempuan berpolitik mengajukan argumentasi sebagai berikut:
1.Pernyataan
al-Qur’an tentang laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian laki-laki
atas sebagian perempuan (QS. Al-Nisa’/4:34). Laki-laki mempunyai derajat
lebih tinggi dari perempuan (QS. Al-Baqarah/2:288). Dan persaksian dua
orang perempuan sebagai ganti satu orang laki-laki (QS. Al-Baqarah/2:282).
2. Hadis Nabi menyebutkan ”Tidak akan bahagia suatu kaum
yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”. (HR. Bukhari). Dan hadis yang
menyebutkan orang perempuan kurang akalnya dan kurang agamanya. (HR. Muslim).
3. Sebagian kitab
tafsir telah menjelaskan laki-laki memimpin perempuan, dialah pemimpinnya, pembesarnya,
hakimnya, dan pendidiknya, apabila menyimpang, karena laki-laki lebih utama
dari perempuan, laki-laki lebih baik dari perempuan. (Tafsir Ibnu Kasîr
1:1:608). Keutamaan laki-laki atas perempuan bermula dari sebab fitrah
(asal mula) dan berpuncak pada sebab kasbiah (usaha), Keutamaan (Fadal)
laki-laki atas perempuan dalam empat hal: kecerdasan akal (kamâl al-‘Aql),
kemampuan manajerial (khusn al-tadbîr), keberanian berpendapat (wazanah
al-ra’yi) dan kelebihan kekuatan fisik (mawazidu al-quwah). Oleh
karena kenabian (nubuwwah), kepemimpinan (imâmah), kekuasaan (wilayah),
persaksian (syahadah) dan jihad dikhususkan laki-laki (Sofwatul Tafâsîr 1:274).
4. Kitab fiqh menurut Wahbah al-Zuhaili, syarat kepala
negara adalah laki-laki, demikian juga Abul al-A’la al-Maududi mengharamkan
perempuan duduk dalam seluruh jabatan penting pemerintahan. Lebih-lebih jabatan
kepala negara.[4]
b. Bolehnya Perempuan berpolitik
Sedangkan pendapat yang
membolehkan perempuan berpolitik, argumentasinya sebagai berikut :
1. Pernyataan
al-Qur’an tentang orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian
mereka adalah penolong atau ahlinya sebagian yang lain, mereka menyuruh mengerjakan
yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar (Al-Qur’an surat Al-Tawbah/9:71).
Sesungguhnya aku menjumpai seorang perempuan yang memerintah mereka dan dia
dianugrahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar (al-Qur’an
surat al-Naml/27:23), seorang perempuan adalah Ratu Bilqis yang memerintah di
negeri Saba’.
2.Hadis “Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan
urusan kepada perempuan” perlu diteliti sanadnya, dan hadis tersebut termasuk
hadis ahad. Kalaupun dianggap sahih hendaknya ditempatkan pada
konteks pengucapan Nabi yang berkaitan dengan tidak mampunya Buron binti
Syiwaraih memimpin kerajaan Persia.
Tafsiran
tentang surah An-Nisa’
tentang surah al-Nisa’
ayat 34 :
الرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على
بعض و بما أنفقوا من أموالهم…
Artinya: “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum
perempuan, oleh karena itu Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
atas sebagian yang lain (Perempuan), karena mereka laki-laki telah menafkahkan
dari sebagian harta mereka…”
Kata الرجال itu umum, النساء
juga kalimat umum, sesuatu
yang khusus adalah Allah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka.Keutamaan
atau tafdil disini yang dimaksud adalah laki-laki kerja dan berusaha di
atas bumi untuk mencari penghidupan. Selanjutnya digunakan untuk mencukupi
kehidupan perempuan yang di bawah naungannya.( Al-Sya`râwî, Tafsir
al-Sya`râwî, 4: 2202). Dari pendapat tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Qawwâmûn berarti laki-laki sebagai penjaga, penanggung jawab, pemimpin, pendidik
kaum perempuan. Padahal penafsiran yang bercorak demikian pada dasarnya
berhubungan dengan situasi sosio-kultural waktu tafsir dibuat yang sangat merendahkan kedudukan kaum
perempuan.
Berbeda dengan mufassir
terdahulu, sejumlah pemikir kontemporer berusaha menafsirkan, antara lain:
Ø Menurut Fazlur Rahman,
laki-laki adalah bertanggung jawab atas
perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain
karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian hartanya, bukanlah
hakiki melainkan fungsional, artinya jika seorang isteri di bidang ekonomi
dapat berdiri sendiri dan memberikan sumbangan
bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan suaminya akan
berkurang. (Fazlur Rahman, Mayor
Themes of the Quran, terj. Anas Mahyuddin: 72)
Ø Sedangkan pendapat Aminah Wadud Muhsin, yang
sejalan dengan Fazlur Rahman, menyatakan bahwa superioritas itu melekat pada
setiap laki-laki qawâmûn atas perempuan, tidak dimaksudkan superior itu
secara otomatis melekat pada setiap laki-laki, sebab hal itu hanya terjadi
secara fungsional yaitu1 selama yang bersangkutan memenuhi kriteria Al-Qur’an
yaitu memiliki kelebihan dan memberikan nafkah. Ayat tersebut tidak menyebut
semua laki-laki otomatis lebih utama daripada perempuan. (Aminah Wadud Muhsin, Quran
and Woman: 73).[5]
Kekhususan-kekhususan
yang diberikan kepada laki-laki tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota
masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih, ketika ayat-ayat
tersebut diturunkan.
Keterbatasan
penggunaan fungsi akal bagi perempuan, karena pembatasan budaya di dalam
masyarakat. Namun sangat disayangkan asumsi
memposisikan perempuan pada titik marjinal, perempuan
kurang akalnya ini tidak terbukti kebenarannya, karena kandungan hadis
menjelaskan karakter perempuan berdasarkan struktur fisik dan psikis menurut
kodratnya sangat intens dengan
perasaan. Hal ini
bukan merupakan kekurangan,
namun sebaliknya menjadi pembeda
dengan laki-laki, dan merupakan keistimewaan tersendiri bagi perempuan yang
sangat sesuai dengan tugas keperempuanan, karena fitrah perempuan memang
senantiasa menggunakan perasaan lebih banyak dan berpikir dengan proporsi yang
lebih sedikit.
Kendati demikian,
perasaan perempuan tidak bermakna ia tidak mampu bergerak dan berpikir cepat
layaknya laki-laki. Salah satu buktinya adalah
perjanjian Hudaibiyah menjadi saksi
atas kecerdasan dan ketangkasan perempuan, orang-orang muslim di saat
itu menunaikan ihram dan
berduyun-duyun menuju Baitullah al-Haram untuk
melaksanakan umrah, tidak lupa mereka membawa hewan korban untuk disembelih
selepas umrah dan tawaf di sekitar Ka`bah, namun orang-orang menghadang dan
menahan langkah mereka, akhirnya pertempuran dingin ini diselesaikan dengan
sebuah perjanjian yang terkenal dengan perjanjian Hudaibiyah.
Perjanjian ini ditandatangani
oleh Rasulullah dan kaum kafir Mekkah. Berisi orang kafir Mekkah tidak akan
mengganggu dan menghalangi langkah orang muslim dan penyebaran dakwah Islam,
orang-orang muslim juga tidak akan menghalangi dan menyakiti kaum kafir Quraisy
dan kerabatnya serta kaum yang berada di perlindungannya.
Adapun
perempuan yang menduduki posisi strategis dan berperan besar dalam perjanjian Hudaibiyah di antaranya, Ummu
Salamah. Ketika perjanjian Hudaibiyah ditandatangani dan disahkan, Nabi
mengintruksikan untuk menyembelih hewan dan bertahallul, namun isi perjanjian
sempat membuat mereka marah, karena menghalangi langkah penyempurnaan tawaf.
Mereka tidak memahami hikmah yang tersirat dari perjanjian ini, yaitu
sinyal-sinyal kemenangan Islam dan ekspansi wilayah Islam sampai tanah Mekkah.
Andaikata mereka lebih memilih untuk
menyelesaikan permasalahan ini dengan peperangan, maka peperangan ini dapat
dikatakan tragis, dalam arti pertempuran akan terjadi antara kaum muslim dan
kaum muslim lainnya yang berdomisili di Mekkah, karena tidak sedikit dari warga
Mekkah yang menganut agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
Pada perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk
menyembelih hewan dan bertahallul, namun seorang dari umatnya tidak melaksanakan
instruksi Rasul, akhirnya Rasul menemui Umu Salamah binti Abi Umaiyyah dengan
kemarahan memuncak.
Umu Salamah berkata:“Apa yang terjadi padamu
wahai Rasulullah?” Nabi diam seribu bahasa. Umu Salamah tidak berhenti pada
titik ini, dia justeru menanyakan perihal apakah yang membuatnya tidak mau
bercerita kepadanya, kemudian Nabi berkata:“Orang-orang muslim telah punah,
mereka tidak mengindahkan perintahku, aku memerintahkannya untuk menyembelih
hewan dan memotong rambutnya, namun tidak melaksanakannya”. Umu Salamah
berkata: “Wahai Rasulullah! Janganlah engkau mencelanya, karena mereka sedang
mengalami kejadian yang dilematis akibat isi perjanjian yang menahan perolehan
kemenangan yang sebenaranya dapat dicapai, wahai Nabi utusan Allah, keluarlah
dan jangan mengeluarkan sepatah katapun, sembelihlah hewanmu dan
bertahalullah!”. Akhirnya Nabi menjalankan nasehat isterinya Umu Salamah,
kemudian orang-orang menyembelih hewan korbannya dan bertahallul seperti Nabi.
(Diriwayatkan Ahmad dalam musnadnya, jilid 4: 336)
Demikianlah Nabi mengaplikasikan nasehat
isterinya Umu Salamah guna menyelesaikan permasalahan yang rumit. Jika pendapat perempuan diklaim sangat tidak proporsional dan akal
perempuan tidak sebanding dengan akal laki-laki, secara implisit Nabi dalam hal
ini tidak melaksanakan nasehat Umu Salamah.
Keputusan yang
diambil oleh laki-laki dan perempuan sangat jauh berbeda. Hal ini terlihat
jelas pada sikap kesehariannya, dapat dibandingkan solusi yang dipakai oleh
kedua pihak dalam tataran praktis. laki-laki dalam kesehariannya selalu
membudayakan penggunaan akal, karena tugas yang diemban olehnya bekerja mencari
penghasilan yang menuntut keterampilan akal tanpa campur tangan perasaan. jika
seorang ayah tidak mempunyai uang sepeserpun, sedangkan anaknya meminta uang
kepadanya, jelas dia tidak akan memenuhi permintaannya, keputusan tegas diambil
berdasarkan akal. Realita akan berkata lain jika anak meminta uang kepada
ibunya, dapat dipastikan ibu mencari
pinjaman guna memenuhi kebutuhan anaknya walaupun dengan perasaan malu dan
penuh deraian air mata.
Jadi nuqsân
al-aql yang disebutkan dalam hadis adalah frekuensi penggunaan akal pada
perempuan sangat rendah, dalam arti perempuan dalam skala mayoritas sering
menggunakan perasaan dalam setiap tindak-tanduknya.[6]
Perempuan berhak
menduduki jabatan politik, dengan syarat mentaati hukum syari’at Islam, karena
tidak ada teks yang secara tegas (sarih) melarangnya. Sedangkan ayat yang dipakai dasar surat Al-Tawbah/9:71:
وَالْمُؤْمِنُونَ
وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ
وَيَنْهَوْنَ عَنْ الْمُنكَر وَيُقِيمُونَ
الصَّلاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ
وَيُطِيعُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمْ اللَّهُ
إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan sebagian mereka
menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh menjalankan kebajikan
dan melarang dari kejahatan, mendirikan salat menunaikan zakat, mereka taat
patuh kepada Allah dan Rasulnya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah,
karena sesungguhnya Allah itu Maha Kuasa lagi Maha bijaksana”.
Sedangkan "Menyuruh
mengerjakan yang makrûf dan mencegah yang munkar" maksudnya,
Ketika mukmin mengerjakan perkara munkar, maka mukmin yang lain
mencegahnya, dan ketika mukmin tidak mengerjakan kebaikan, maka mukmin yang
lain mengingatkannya. Akhirnya, setiap mukmin memerintah dan diperintah untuk
mengerjakan kebaikan dan melarang mengerjakan kemunkaran. Jadi artinya sesama
mukmin baik laki-laki maupun perempuan harus saling mengingatkan, ada
kemungkinan posisinya menjadi pemerintah atau yang diperintah.[7]
Dalam
tafsir Al-Sya`râwî, kata auliya diartikan bahwa: “Dalam masyarakat mukmin harus saling tolong
menolong dan saling memberi nasihat, agar sempurna imannya.” (Al-Sya`râwî, Tafsir
al-Sya`râwî,: 5287). Jadi mencakup kerjasama, bantuan, dan penguasaan.
Demikian juga pendapat Sayid
Qutub dalam tafsirnya maksud dari amar
makruf dan nahi munkar artinya “Menciptakan kebaikan dan menolak kejelekan
diperlukan pemerintahan atau kekuasaan dan dengan tolong menolong, hal ini
dilakukan oleh laki-laki dan perempuan”.(Sayid Qutub, Fi Zilal al-Qur`ân: 1675).
Hak perempuan di bidang
politik, merupakan hak syar`î, jika dalam beberapa masa lalu perempuan
tidak menggunakan hak ini, bukan berarti perempuan tidak boleh dan tidak mampu,
tetapi karena tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk memperaktekkannya, atau
laki-laki dalam hal ini mengunggulinya, ini bukan berarti hak politik perempuan
tidak diakui, justru menjadi suatu hak yang dituntut dan dianggap sangat urgen,
terutama di saat sekarang ini. Apalagi, dalam
konteks pemberdayaan peran politik perempuan di Indonesia, hak tersebut
secara legal-formal telah terjamin eksistensinya. Hal itu terlihat jelas pada
pasal 65 ayat 1, UU no. 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang menyatakan bahwa:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan
calon anggota DPRRI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten / Kota untuk setiap
daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya
30”.[8]
Sementara di sisi lain ada hadis yang
dijadikan pegangan untuk tidak patut perempuan menjadi pemimpin atau memegang
jabatan adalah:
عن
ابى بكرة قال لقد نفعني الله بكلمة سمعتها من رسول الله صلى الله عليه وسلم آيام الجمل بعد ماكدت آن آلحق باصحاب الجمل فآقاتل معهم
قال لما بلغ رسول الله صلى الله عليه
وسلم ثم آن اهل فارس قد ملكوا عليهم بنت كسرى قال لن
يفلح قوم
ولو امرهم امرأة رواه البخارى
“Dari Abî Bakrah berkata:
“Allah memberikan manfaat kepadaku pada hari-hari perang Jamal, dengan satu
kalimat yang saya dengar dari Rasul SAW setelah aku hampir saja bergabung
dengan pasukan unta untuk bertempur bersama mereka”. Abu Bakrah berkata:
“Ketika sampai pada Rasul SAW satu berita, bahwa penduduk Persia telah
menobatkan puteri Kisra sebagai raja, maka Rasul SAW berkata: “Tidak akan sejahtera suatu kaum
yang menyerahkan urusan (pemerintahannya) kepada perempuan”. (H.R.Bukhari).)Muhammad
bin Ismâ`îl Abû `Abdillah al-Bukhârî, Sahih Bukhâri,juz 4:1610)
Bukti
bahwa perempuan mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk memikul masalah besar
adalah terdapat dalam al-Qur`an tentang Hajar, ibu Nabi Ismâ`îl AS, tentang ibu
Nabi Musa AS., dan tentang Maryam, ibu Nabi Isa AS. Dari bukti tersebut
menunjukkan bahwa perempuan dapat mengatasi masalah, kendatipun dalam scop yang
luas, seperti persoalan dalam suatu negara.[9]
PENUTUP
Di luar bentuk fisik dan
biologis antara perempuan dan pria memang tidak berbeda banyak. Dalam
kecendikiawan banyak juga perempuan yang berprestasi tidak kalah dengan
laki-laki. Di Indonesia ada kartini-yang pikiran-pikirannyaprogresif, di
samping itu Siti Rihanah Kudus di Minangkabau, dan Dewi Sartika di Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
·
Istibsyasaroh, 2004, Hak-Hak
Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Jakarta: Teraju).
·
Ilyas,Yunahar,1997, Feminisme
dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar).
·
Al-‘Akad, Abbas
Mahmoud,1984, Wanita dalam Al-Qur’an (Jakarta: P.T. Bulan Bintang).
·
Indra, Hasbi,2004, Potret
Wanita Shalehah (Jakarta: Penamadani).
·
Al-Khalidy, Shalah A.
Fattah, 1999, Kisah-Kisah Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insani Press).
[1] Hasbi Indra dkk, Potret
Wanita Shalehah (Jakarta,Penamadani: 2004),hlm.1-3.
Abbas
Mahmoud Al-‘Akad, Wanita dalam Al-Qur’an (Jakarta, P.T. Bulan Bintang:
1984), hlm.10-11.
[2] Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan
Kontemporer (Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 1997), hlm.123-125.
[3] Hasbi Indra, Potret Wanita Shalehah (Jakarta, Penamadani: 2004),
hlm.5-9.
[4] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir
Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004), hlm.177-179
[5] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak
Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004),
hlm.207-209
[6] Yunahar
Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar Offset: 1997), hlm.132.
[7] Hj. Istibsyaroh, Hak-hak
Perempuan Relasi Jender Menurut Tafsir Al-Sya’rawi (Bandung, Teraju: 2004),
hlm.182-184.
[9] Shalah A. Fattah
Al-Khalidy, Kisah-kisah Al-Qur’an (Jakarta, Gema Insani Press),
hlm.71-74.